Senin, 22 April 2013

(Cerpen) Dalam Bingkai Jendela Oleh Mulyoto M.

Disleksia





Pelajaran sudah berjalan empat bulan. Teman-temanku sekelas telah mahir membaca. Johan, teman sebangkuku, bahkan telah mampu membaca koran. Dia memang sudah bisa membaca sejak taman kanak-kanak. Tapi aku? Hingga kini aku masih belum mampu membaca. Aku sulit sekali mengenali huruf-huruf dan angka-angka. Huruf s dan z bagiku terlihat sama. Huruf  b dan d juga tidak berbeda. Lalu huruf a dan o. Juga angka 6 dan 9. Susah sekali.


Bukan itu saja. Saat aku membuka buku dan berusaha membaca kata demi kata, huruf-huruf kulihat menari-nari. Mereka mengajakku berdansa, menghilangkan kepedihan yang bergelayut di kepala. Membawaku ke alam bebas, di mana burung-burung terbang melayang-layang, di mana air kali mengalir gemericik, di mana angin bertiup spoi, dan induk burung emprit memberi makan anak-anaknya yang mulutnya terbuka lebar. Mereka juga membawaku terbang ke planet Mars, Saturnus, Uranus hingga Pluto.


Aku merasa nyaman dan tertawa. Tapi guru yang melihatku merasa heran.


“Ayo, Deo! Ini bacaannya apa?” seru Bu Fani sambil mengerutkan kening.


Aku tidak bisa menjawab. Mulutku seperti terkunci.


Dan kejadian itu tidak sekali-dua kali. Melainkan berkali-kali. Hingga Bu Fani telah sampai di ujung kesabaran. Aku dihukum berdiri di depan kelas, sambil mengangkat kaki kanan, dan kedua tanganku memegang telinga bersilangan.


Aku tidak tahu apa yang terjadi pada diriku. Aku tidak tahu kelainan apa yang kuderita. Di setiap pelajaran yang selalu berupa pengenalan huruf-huruf dan angka-angka aku merasa letih. Pelajaran selalu membosankan. Saat pelajaran aku lebih senang melihat keluar dari balik jendela. Dalam bingkai jendela itu aku bisa melihat dunia yang hidup. Angin kurasakan bergerak. Daun-daun puring bergoyang-goyang. Awan putih dengan latar langit biru berarak. Dan burung-burung mungil meloncat dari dahan ke dahan, berkicau bersaut-sautan. Dunia benar-benar terasa hidup.


Bagi guru, aku ini mungkin dianggap sebagai anak nakal yang bodoh dan sama sekali tidak memedulikan pelajaran. Bayangkan, saat guru menerangkan dengan sekuat tenaga dan membimbing kami mengeja, aku malah asyik melihat pemandangan yang berbingkai jendela itu. Aku asyik bermain-main, tertawa, bersama burung-burung camar yang berteriak-teriak di angkasa. Aku tak punya sayap, tapi dengan melihat jendela, aku bisa terbang bersama awan putih, merasai belainan angin yang begitu lembut, dan menukik laksana elang menangkap buruan. Aku tak tahu, aku ini apa, dan mengapa.


Suatu hari orang tuaku dipanggil ke sekolah. Aku menguping pembicaraan Ibu dan Bu Fani untuk tahu apa sebenarnya yang terjadi padaku.


“Maaf, Bu!  Sepertinya Deo mengalami keterbelakangan mental,” kata Bu Fani.


Ibu hanya diam. Ia nampak tidak bisa menerima kenyataan ini. Sepertinya tidak mungkin. Ibu normal. Ayah juga normal. Viko, kakakku, yang kini duduk di kelas VI, bahkan juara kelas sejak kelas I. Lalu aku mengalami keterbelakangan mental? Ideot, maksudnya?


“Ya, Bu Fani,” kata ibuku lirih. “Lalu, apa saran Bu Fani?”

Bu Fani menarik nafas panjang dan melepaskannya dengan berat. “Saran saya, Deo dipindahkan ke Sekolah Luar Biasa (SLB) saja!”


Ibu terdiam cukup lama saat itu. Kenyataan yang didengarnya dari guru kelasku itu sungguh memukul hatinya. Lalu suara Bu Fani seolah menimbulkan gaung di ruang hatinya. Cukup lama gaung itu terjadi.


Ibu keluar dari Ruang Bimbingan dan Konseling (BP) dengan lunglai. Andai aku bisa menghiburnya, aku akan menghiburnya untuk menghembus kabut kedukaan yang menyelimutinya.


Ibu tentu masih belum membicarakan masalahku ini pada Ayah sebab Ayah masih di luar kota mengurus bisnisnya. Mungkin Ayah datang seminggu lagi. Jeda satu minggu ini merupakan kesempatan bagiku untuk tetap bisa berada di sekolah seperti biasanya sebelum nanti aku dipindah ke SLB. 


***

“Bapak penggantinya Bu Fani yang sedang cuti hamil. Nama Bapak Sutejo. Biar terdengar keren, panggil saja Pak Jo!” kata seorang guru baru mengenalkan diri.

Pak Jo sangat humoris. Selama mengajar, beliau menyelingi humor-humor segar yang membuat kami tertawa. Pembelajaran terasa cair, menyenangkan. Kami belajar sambil menyanyi, menari dan membebaskan imajinasi untuk memilih-milih asa. Bukan itu saja, Pak Jo kadang juga mengajak kami ke luar kelas. Duduk-duduk di atas rerumputan di taman sekolah sambil bercerita, belajar di hutan sekolah sambil menghirup udara yang segar di bawah garis-garis sinar mentari. Sungguh, belajar terasa penuh dengan keceriaan.


Sehari setelah Ayah pulang dari luar kota, Pak Jo berkunjung ke rumah. Aku ada di kamar waktu itu. Tapi tetap saja aku masih bisa mendengar pembicaraan mereka, meski sayup-sayup.


“Pak. Bu. Deo tidak mengalami keterbelakangan. Ia hanya kesulitan dalam mengenali huruf-huruf dan angka-angka. Makanya, hingga sekarang ini dia masih susah membaca. Dalam psikologi ini dinamakan disleksia,” kata Pak Jo.


Pak Jo lalu menunjukkan buku-bukuku. “Ini tulisan Deo. Saat menulis kata “budi”, ia menulis “dudi”. Saat mau menulis “susu”, ia menulis “zuzu”. Lalu lihat yang ini. Ia menulis angka tiga dengan cara terbalik,” lanjutnya.


Ayah-Ibu hanya diam dan mendengarkan penjelasan Pak Jo dengan seksama. 


“Dengan melihat tulisan-tulisan ini, saya sudah menyimpulkan bahwa Deo mengalami disleksia, bukan keterbelakangan mental. Untuk membuktikan bahwa Deo tidak mengalami keterbelakangan seperti dikira selama ini, saya memberikan Tes Matrix kepadanya. Tes Matrix adalah tes kecerdasan yang tidak tergantung pada kemampuan mengenal huruf dan angka. Jadi meski yang dites belum bisa membaca, tes tetap valid. Hasilnya, sungguh sangat mencengangkan. Deo mendapat skor maksimal. Disimpulkan bahwa ia sangat cerdas, dan tidak mengalami keterbelakangan mental. Berarti apa yang dia alami adalah disleksia,” tegas Pak Jo.


Mendengar apa yang dikatakan Pak Jo dari kamar, aku merasa lega.Hening sesaat.



“Terus, apa yang harus kami lakukan?” tanya Ibu.

“Kemarin malam, kami merencanakan akan memindahkan Deo ke SLB,” ujar Ayah menimpali. 


“Kita semua harus membantunya membaca. Menurut saya, tidak usah dipindahkan ke SLB. Saya akan membantunya membaca dengan banyak variasi. Bapak-Ibu mohon mendampingi dan membimbing Deo membaca buku-buku sederhana. Buku cerita yang disertai gambar-gambar. Dengan latihan secara terus menerus, kesulitanya akan teratasi,” ujar Pak Jo membesarkan hati.


***

Aku sangat kagum pada Pak Jo. Di sekolah beliau membantuku mengenali huruf-huruf dan angka-angka dengan penuh keikhlasan. Aku bisa melihat keikhlasan itu dari matanya. Pak Jo membuat kartu-kartu berwarna-warni bertuliskan huruf dan angka berukuran besar. 


“Coba susun kartu ini sehingga terbaca buku!” pintanya kepadaku.


Aku pun mencari-cari kartu dan menyusunnya sehingga membentuk kata. Tentu dengan bantuannya.


Lalu Pak Jo menyusun kartu-kartu membentuk sebuah tulisan. “Coba, ini bacaannya apa?!”


“Kuda,” jawabku.


“Bagus,” ujar Pak Jo.


Aku menjalankan perintah Pak Jo dengan senang hati. Dalam waktu singkat kemampuan membacaku banyak mengalami peningkatan, meski tak semahir teman-temanku sekelas.


Kemampuanku membaca ternyata berimbas juga pada kemampuanku di bidang matematika. Bakatku di bidang matematika berkembang pesat dengan telah terbukanya penghalangku selama ini. Dengan melihat saja, tanpa bantuan kertas coretan, aku sudah bisa menemukan jawaban dari soal matematika. Pola bilangan, bangun ruang, berbagai rumus yang menghubungkan antara konsep satu dan lainnya begitu mudah aku mengerti.


Itulah sebabnya, meski aku tak selancar teman-temanku dalam membaca, aku selalu mendapatkan nilai 10 pada ulangan matematika. Pak Jo bangga melihatku mengalami perkembangan yang pesat. Lebih bangga lagi melihatku kini lebih percaya diri dan tak lagi bersembunyi di sudut kelas di bawah jendela.


“Kamu ikut olimpiade matematika, ya!” pinta Pak Jo.


Di kelas, aku memang terbilang paling mahir matematika. Tapi apakah aku cukup layak ikut olimpiade matematika? 


“Saya, kan, masih kelas I, Pak Jo. Olimpiade matematika itu untuk kelas  III ke atas, kan?” kataku.


“Ya. Memang untuk kelas III ke atas. Tapi kamu boleh juga mencobanya. Santai saja! Setidaknya untuk pengenalan,” kata guruku yang masih muda itu.


“Apa saya bisa, ya? Saya kan, masih mendapatkan materi matematika kelas I, Pak,” kataku ragu.


“Oh, soal-soal olimpiade matematika itu mengandalkan kecerdasan. Tidak terlalu membutuhkan materi-materi yang telah diajarkan. Kamu bisa saja menemukan jawaban kamu dengan cara kamu sendiri,” jelas Pak Jo.


Lalu Pak Jo menyodorkan contoh-contoh soal olimpiade matematika. Aku membaca soal demi soal sambil menggerak-gerakkan bibirku. Aku mencoret-coret di kertas buram. Dan menuliskan jawaban.


Pak Jo melihat apa yang kukerjakan dan berkata, “Exelelent!

***

Hari minggu. Beberapa anak duduk-duduk di taman di depan kelas sambil memegang buku yang terbuka. Dari depan terlihat tulisan di sampul buku itu: Buku Cerdas Matematika Sekolah Dasar. Aku ikut juga duduk-duduk di taman, tapi tidak membawa buku. 


“Anak-anak yang ikut olimpiade, silakan masuk ke kelas!” kata Pak Dedi, guru kelas V.


Anak-anak berlari ke kelas dengan semangat. Sedangkan aku berjalan dengan gontai. Pak Jo menghampiriku. “Ayo, semangat! Kamu pasti bisa!”


Setelah semua peserta masuk kelas, Pak Dedi tampil ke depan kelas. “Olimpiade ini dilaksanakan sekaligus sebagai seleksi untuk menentukan wakil sekolah kita dalam ajang olimpiade matematika SD tingkat kecamatan. Nanti akan diambil 5 juara, juara I, II, II, harapan I, dan harapan II. Kelima juara ini nanti akan dibimbing secara intensif untuk mengkuti olimpiade di tingkat kecamatan.”


Aku mengerjakan soal dengan lepas. Tanpa beban. Ketika huruf dan angka terlihat menari-nari saat kueja, aku tersenyum. Dengan tertatih-tatih kubaca tiap soal, lalu kukerjakan dengan mudah.


Hasilnya, aku masuk 10 besar pada tahap I sehingga bisa mengikuti tahap II. 


Usai menyelesaikan soal pada tahap II, kami pulang. Pengumuman tentang juara-juaranya akan diumumkan besok pada saat upacara bendera.

***

Inilah saat-saat yang mendebarkan. Pak Dedi mengumumkan para juara di akhir upacara bendera.  “Juara I diraih oleh Berliana Putri. Juara II: Ivan Saputra. Juara III diraih oleh Deo Danu Wijaya. Juara Harapan I: Indri Riskika, dan Juara Harapan II: Angga Dwi Cahyo. 


“Nama-nama yang saya sebutkan tadi harap maju ke depan untuk memperoleh piala penghargaan,” kata Pak Dedi.


Anak-anak yang namanya dipanggil berlari ke depan barisan, kecuali aku. Pak Jo yang berada di barisan para guru menengok ke arah barisan kelas I. Pandangan mata beliau mencari-cari di mana aku berada. Saat Pak Jo menemukanku, beliau memberi kode kepadaku agar tampil ke depan. Aku berjalan dengan ragu. Aku ragu kalau ini nyata dan bukan mimpi. Meski aku hanya memperoleh juara III, aku merasa ini sebagai sebuah keajaiban. Di antara para juara, hanya aku yang dari kelas I, anak yang selama ini dianggap bodoh dan terbelakang.


Aku memegang piala dengan tangan bergetar. Seusai barisan dibubarkan aku menemui Pak Jo dan mengucapkan terimakasih atas semuanya. Pak Jo telah menemukanku dan mengentasku dari kolam lumpur pekat. []



Penulis : Mulyoto M, sedang menggeluti fiksi, staf di UPT Dinas Pendidikan Sooko, Mojokerto.

2 komentar:

Unknown mengatakan...

Bagus. Ada nama saya pula; Johan, berikut panggilan saya; Jo. He he he... ^_^

Unknown mengatakan...

Menarik ceritanya... sangat menikmati cerita ini, penuh motivasi dan pengabdian...

salam PEDAS

Posting Komentar

PEDAS BLOG:



Berisi berbagai informasi pengetahuan umum dan sastra, buku karya para penulis anggota grup PEDAS. Serta kegiatan Grup Pedas-Penulis dan Sastra.

Sekaligus sebagai media informasi PEDAS PUBLISHING. Sebagai penerbit Indi yang menerima naskah-naskah untuk diterbitkan sesuai keinginan si penulis. Dan buku-buku terbitan PEDAS PUBLISHING dapat diperoleh dengan sistem Print On Demand (POD). Lini penerbitan sudah mulai beroperasi. Ditandai dengan penerbitan buku antologi 135 Puisi Romantis: Cinta Dalam Empat Dimensi

 
Design by alisakit | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Cap Kaki Tiga Setia Manfaat