Selasa, 18 Juni 2013

Royalti, dambaan setiap penulis



Benarkah? Maka, jawabnya benar. Tapi, itu hanya salah satu dari hal-hal yang menjadi tujuan atau keinginan seorang penulis. Menurut saya pribadi, royalti buat saya bukan tujuan utama. Tujuan utama saya menulis adalah mengungkapkan hasil pemikiran/imajinasi saya. Namun tiap orang tentu berbeda tujuannya.

Sebagai pengelola grup kepenulisan dan berapa kali menyelenggarakan kegiatan lomba menulis yang akhirnya naskah-naskah terbaik akan ditebitkan menjadi buku, timbul kegelisahan (pertanyaan) di kalangan peserta. Jika naskahnya lolos untuk diterbitkan, akankah mendapatkan royalti? Padahal di informasi lomba, sudah dijelaskan kontributor yang naskahnya lolos untuk diterbitkan tidak mendapatkan bukti buku terbit maupun royalti, tetapi akan mendapatkan diskon pembelian buku 10% dari harga jual.

Lewat tulisan ini, saya ingin menjelaskan, mengapa tidak mendapat buku bukti terbit dan tidak mendapat royalti sebagai salah satu syarat lomba. Perlu diketahui, buku-buku hasil karya Lomba Grup PEDAS, diterbitkan secara indie. (dibiayai sendiri) Mengapa tidak ke penerbit mayor? Penerbit mayor tidak menerima naskah buku yang ditulis secara keroyokan kecuali ditulis oleh penulis-penulis yang memang sudah punya nama, misalnya Kumpulan Cerpen Tahunan Kompas. Buku itu ditulis oleh penulis-penulis yang karyanya sudah dimuat di harian tersebut.

Pada penerbit Indie, biaya ditanggung sendiri. Ada kecenderungan sebagian penulis merasa puas naskahnya diterbitkan menjadi buku dan tak berminat membeli (entah memang tidak berminat atau tidak punya uang). Lalu, siapa yang membeli buku-buku tersebut, kalau penulisnya saja tidak mau membeli?

Pada artikel kompasiana yang berjudul “Mengintip Hitung-hitungan Royalti Penulis Buku”, , si penulis mengungkapkan ada dua sistem bagaimana sebuah penerbit (mayor) menghargai karya seorang penulis. Pertama: royalti, dan kedua: jual putus. Besaran royalti itu bervariasi antara penerbit satu dan penerbit yang lainnya. Masing-masing penerbit memiliki policy masing-masing. Namun, besaran standar royalti penerbit di Indonesia adalah 10% dari harga jual eceran (bruto) per bukunya. Ada juga yang hanya mematok 5% dan 7%.

Dalam sebuah workshop di Jakarta beberapa waktu lalu, Ayip Rosidi, seorang pengarang senior yang juga mantan ketua Ikapi dan salah satu satrawan besar Indonesia, secara umum juga mengatakan, rata-rata royalti yang dibayarkan ke penulis memang sebesar 10% dari harga eceran (bruto).

Kembali ke artikel di atas. Disebutkan, kalau sistem beli putus, kisaran honor yang didapat penulis mulai Rp 1,5 juta sampai dengan Rp 15 juta, tergantung ketebalan buku, proyeksi pasar, dan kredibilitas penulis.

Dalam artikel tersebut si penulis mengambil perumpamaan pada penerbit mayor dengan jumlah cetak buku sangat besar. 5.000 buku.

Sekadar contoh, Achi T.M., penulis novel Cloud(y), novel pertamanya dibeli putus (kalau tidak salah) seharga Rp 2,5 juta (tahun 2007). Sekarang ia sudah punya nama. Cloud(y) novelnya yang ke-8, saya rasa sekarang tidak jual putus lagi. Lalu bagaimana dengan karya-karya penulis dari grup-grup kepenulisan yang notabene penulis pemula? (biarpun sudah punya antologi ke-70, 80, bahkan ke-100!).

Biaya menerbitkan buku secara indie dapat dilihat dengan mata telanjang karena para penerbit Indi terbuka mempublikasikan berapa biaya menerbitkan buku. Rata-rata menawaran Rp 350.000 mendapatkan satu atau dua buku bukti terbit yang dikirim ke rumah bebas biaya kirim. Penerbit indie akan membantu promosi/publikasi secara online. Cukupkah secara online? Tergantung jaringanmu. Semakin luas jaringan penerbit dan jaringanmu maka peluang buku diketahui orang banyak semakin besar. Tapi apakah itu mendorong orang untuk membeli? Jawabnya: tidak tahu.

Ada juga penerbit indie yang menawarkan untuk karya keroyokan (grup) Rp 1.000.000 mendapatkan 25 buku. Artinya harga 1 buku Rp 40.000. Sebuah buku karya grup biasanya ada sekitar 20 s.d. 30 kontributor. Lalu bagaimana hitungan pembagian royaltinya? Penerbit indie tidak akan memberikan royalti karena memang tidak ada royalti yang bisa dibagi. Buku dicetak berdasarkan permintaan (Print on Demand/POD), kelebihan sistem ini walau hanya ada satu permintaan buku tetap akan dicetak dan dikirim.

Penerbit indie kadang mendorong kontributor untuk menjadi pemasar untuk buku-buku yang  ada tulisannya, dengan memberikan kompensasi sekitar Rp 5.000/buku. Ini bisa juga disebut sebagai royalti. Semakin banyak kontributor menjual buku maka semakin besar royalti yang diterima. Sistem ini pada penerbit indie menjadi lebih adil, siapa bekerja keras maka akan mendapat hasil yang seimbang.

Ada juga dengan sistem investasi. Semakin banyak buku dicetak akan semakin murah harga produksi buku.
Seumpama  mencetak 200 buku. Harga produksi per buku sekitar Rp 25.000.
Harga jual buku =  Rp 25.000 + 20 % biaya promosi/publikasi + 40% keuntungan  
Rp 25.000 + Rp 5.000 + Rp 10.000 = Rp 40.000.Jadi harga jual per buku adalah Rp 40.000.
Keuntungan Rp 10.000 dibagi antara investor dan kontributor, masing-masing 50%
Jadi kontributor akan mendapatkan Rp 5.000 x 200 buku : 30 kontributor = Rp 33.000.

Tetapi, biaya transfer antarbank antara Rp 15.000 s.d. Rp 35.000 bila bank berbeda (hanya bebas biaya kalau banknya sama). Artinya, untuk biaya transfer saja ada kemungkinan minus. Itu pun kalau terjual 200 buku, dan belum diketahui 200 buku itu akan terjual dalam rentang waktu berapa lama. Biasanya royalti dikirim per tiga bulan.

Maka, investor pun menerapkan sistem seperti yang diterapkan penerbit indie, memberikan Rp 5.000/buku dari buku yang dijual si kontributor. Misalkan tiap kontributor menjual 10 buku, maka untuk menjual 200 buku hanya diperlukan 20 orang kontributor. Dan besarnya royalti yang diterima pun lebih besar (Rp 5.000 x 10 buku = Rp 50.000) Ini pun menjadi lebih fair. Siapa menjual banyak dan cepat maka akan mendapat banyak dan cepat juga (mungkin tidak sampai rentang waktu  3 bulan).

Kalau ada yang bilang, enak yang jadi investor dong. Maka saya akan berkata, tidak ada larangan siapun menjadi investor. Kalau memang enak menjadi investor mengapa sedikit sekali yang bersedia? Bagaimana kalau buku gagal di pasaran, apakah para kontributor menanggung resiko? Jawabnya tidak. Risiko ada pada investor. Pada sistem ini, penerbit indie pun tidak menanggung risiko karena mencetak hanya berdasarkan permintaan.

Semoga tulisan ini membuka wawasan para penulis pemula. Saya dari dulu bercita-cita menjadi penulis tapi saya tidak menjadikan menulis sebagai mata pencarian. Jika dari karya saya yang dimuat di media cetak, saya mendapat honor, maka itu saya anggap bonus. Tulisan-tulisan saya adalah jejak keberadaan saya. Jika ada yang menghargai secara materi, itu sebuah kehormatan. Tapi dibaca, diapresiasi dengan dikomentari saja, juga sudah menjadi sebuah kehormatan yang tak bisa dinilai dengan materi.

Note: Untuk sukses buku ini tersebar ke mana-mana dan di beli banyak orang, maka kontributor mempunyai peran besar. Kontributor harus mampu menjelaskan mengapa karyanya yang ada di buku tersebut perlu di baca. Bukan cukup puas sudah terbit lalu coverbuku di tag ke-mana-mana (sebatas fb) dengan pesan telah terbit antologi saya yang pertama/antologi saya yang ke 25. beli yah.

Maka saya kerap bertanya, siapa kamu, dan bagaimana karyamu sehingga saya harus/perlu membeli antologimu? karena pemasarannya secara online, pertanyaan itu tidak terjawab. Dan Si Kontributorpun tidak mendapat feedback apa-apa, karena saya yakin seyakin-yakinnya hanya 10 % kawan yang di tag yang mau berkomentar dan kurang dari 1% yang mau membeli.

Jadi laku atau tidak lakunya buku-buku dari penerbit Indie bukan kurang secara kualitas tapi peran serta kontributor yang minim dan ketidak tahuan kontributor untuk menyampaikan informasi mengenai produknya (buku) dengan benar.

22 September 2012
Oleh ELISA KORAAG/ PENULIS DAN SASTRA

0 komentar:

Posting Komentar

PEDAS BLOG:



Berisi berbagai informasi pengetahuan umum dan sastra, buku karya para penulis anggota grup PEDAS. Serta kegiatan Grup Pedas-Penulis dan Sastra.

Sekaligus sebagai media informasi PEDAS PUBLISHING. Sebagai penerbit Indi yang menerima naskah-naskah untuk diterbitkan sesuai keinginan si penulis. Dan buku-buku terbitan PEDAS PUBLISHING dapat diperoleh dengan sistem Print On Demand (POD). Lini penerbitan sudah mulai beroperasi. Ditandai dengan penerbitan buku antologi 135 Puisi Romantis: Cinta Dalam Empat Dimensi

 
Design by alisakit | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Cap Kaki Tiga Setia Manfaat