Sastra
kontemporer pada awalnya sangat tidak lazim di Indonesia, sastra yang lebih
dominan dengan karakter klasik bangsa Indonesia dahulu yang mana seni pada saat
itu lebih didominasi oleh karya-karya pujangga lama yang lebih mengedepankan
sisi konvensionalnya. Kelahiran sastra kotemporer merupakan gebrakan awal yang
diusung oleh sosok Sutardji C.B. Sastra kontemporer lahir karena adanya
pergeseran nilai kehidupan dan tatanan dalam masyarakat secara menyeluruh dan
tidak dipengaruhi dengan adanya kebiasaan masyarakat di sekitarnya. Pada
dasarnya sastra kontemporer Indonesia lebih cenderung dipengaruhi oleh sastra
Barat atau Eropa. Dan ciri salah satu karakter sastra kontemporer Indonesia
adalah ” seni untuk seni “.
Sastra
kontemporer merupakan bentuk seni yang mengobrak-abrik tatanan bahasa atau
kata. Karakteristik sastra kontemporer dihuni oleh para pemburu dalam sejarah
sastra suatu bangsa – bangsa, titik tolaknya adalah sastra yang sudah ada dalam
masyarakat. Karakteristik yang sangat menonjol pada karya sastra kontemporer
ini adalah karyanya yang sangat non – konvensional sehingga hal ini menjadi
suatu mengapa dalam karya sastra ini cenderung kurang diminati oleh para
pembaca pada umumnya. Ciri atau karakteristik sastra kontemporer atau sering
disebut dengan sastra Avant Garde ini yaitu sastra yang sudah jelas
penokohannya atau dan karakter tokoh.
Kritikus
Umar Junus pernah menyatakan bahwa tradisi sastra Indsonesia modern adalah
tradisi pembaharuan. Suatu karakter dari sastra kontemporer adalah karya seni
yang menunjukkan gaya atau pokok yang digarap, khususnya yang dilaksanakan
secara eksperimental. Karya semacam ini menyimpang dari kelaziman yang telah
mentradisi. Tujuannya adalah mencapai keabsolutan seni. Menciptakan tingkat
penciptaan yang setinggi – tingginya. Semboyannya jelas : ‘’seni untuk seni”.
Mereka tidak peduli apakah karya semacam itu dapat dipahami oleh lingkungannya
atau tidak. Mereka mencipta demi kemajuan bangsanya. Inilah sebabnya sering
muncul tuduhan bahwa avant garde hanya berkarya untuk para kritikus seni yang
berwibawa saja.
Dalam
The Merriam-Webster Dictionary, pada kontemporer dituliskan sebagai marked by
characteristic of the present period yang artinya sebagai “penunjuk pada
dimensi waktu yaitu masa kini atau dengan lain perkataan karya-karya mutakhir
yang dipublikasikan”. Sedang Avant garde merupakan penunjuk pada unsur
pembaharuan pada segi tehnik maupun ide dari suatu karya seni. Karakteristik
sastra kontemporer atau avant garde ini bertumpu kepada seni yang telah
mentradisi. Karakteristik avant garde ini diciptakan oleh para seniman tidak
dengan ‘’eksperiment’’ tidak dengan coba – coba tidak pula dengan lempar dadu.
Para seniman pencipta karya sastra kontemporer ini bekerja melalui proses
penciptaan yang panjang. Melalui pencarian yang panjang dan bertanggung jawab.
Sastra
kontemporer adalah karya sastra yang muncul sekitar tahun 70-an, bersifat
eksperimental, memiliki sifat-sifat yang “menyimpang” dari konvensi-konvensi
sastra yang berlaku biasa atau umum. Sastra kontemporer muncul sebagai reaksi
terhadap sastra konvensional yang sudah beku dan tidak kreatif lagi dan
dianggap telah mendominasi eksistensi karya sastra. Bahkan sastrawan mudah
merasa “sumpeg” dengan karya sastra yang telah ada karena merasa terbelenggu
daya kreasinya. Sastra kontemporer merambah pada seluruh jenis karya sastra,
seperti novel, puisi, dan drama. Tokoh-tokoh sastra ini pada zamannya termasuk
sastrawan mudah pada tahun 70-an.
Representasi
globalisasi itu semakin terlihat pada Angkatan 2000 sastra Indonesia (juga
dapat dikatakan sebagai sastra kontemporer), kebebasan dalam tema, terutama
mengenai perselingkuhan dan seksualitas perempuan yang lebih terbuka, berani,
dan ekstrim.
Misalnya
Ayu Utami dengan dua novelnya Saman dan Larung yang melakukan pemberontakan
atas norma seksualitas dan menggambarkan tokoh perempuan dengan kehidupan yang
lebih bebas. Empat sekawan tokoh perempuan dalam kedua novel itu digambarkan
turut berperan dalam pergerakan bawah tanah yang selalu mengadakan
demonstrasi-demonstrasi menentang kebijakan penguasa. Kedua novel itu juga
bercerita tentang perselingkuhan dan kegiatan seksual yang dilakukan oleh
keempat tokoh perempuan itu secara agresif. Dewi Lestari dengan tiga novelnya,
yakni Supernova, Akar, dan Petir yang menggambarkan dunia sains, dunia maya
dalam internet, kisah percintaan yang digambarkan melalui dunia maya tersebut.
Sumber:
0 komentar:
Posting Komentar