Tiba-tiba kantukku hilang ketika cairan dingin tertumpah
di wajah diikuti tangan kekar Ayah mengusap. “Ada apa Ayah? Kita di mana?” tanyaku antara kaget,
bingung, dan jengkel. Kulemparkan pandangan ke sekeliling, gelap dan tercium bau
humus. “Kita masih di hutan?”
“Sssttt...,” Ayah meletakkan jari di bibirku. Lalu tangannya membentuk teropong di telinga. Aku
mengikuti gerakan Ayah. Mataku terpejam agar lebih konsentrasi dan sayup aku
mendengar suara binatang hutan yang
terdengar antara marah dan kesakitan. Sontak jantungku berpacu lebih cepat, kubuka
mata, Ayah tengah menatapku. Suara binatang itu kian mendekat. Ayah melepaskan
tas dari punggungnya dan menyerahkan padaku.
"Diam dan jangan ke mana-mana! Ayah harus menuntaskan amanat
ibumu.” Usai berkata seperti itu, lalu Ayah melompat. Reflek aku berbalik dan
melihat ke arah Ayah melompat. Tapi aku hanya melihat sekejap lalu tak ada
apa-apa. Rasa takut menguasaiku dan aku mencium bau amis.
Kini kusadari, inilah jawaban mengapa kemarin aku enggan
menemani Ayah melakukan lintas malam. Sebuah kegiatan rutin yang bertujuan
melatihku mengoptimalkan pancaindra. Sudah kulakukan sejak berusia tujuh tahun. Setiap liburan sekolah aku pasti
berlibur di kaki Gunung Salak, desa asal ibuku. Tapi ini adalah lintas malam
pertama sejak ibuku meninggal enam bulan lalu. Tiba-tiba terdengar suara
lolongan serigala dan harimau yang mengaum.
Membuyarkan kenanganku pada ibu dan berganti rasa takut yang menyelimuti jiwaku.
Berlatar bulan penuh, ada mahluk besar berwajah menyeramkan, badannya kekar wajahnya berbulu, ada taring di kedua sudut moncongnya, serupa srigala jejadian. Di depannya berdiri mahluk yang sama menyeramkan, otot kekar menonjol, berwajah
harimau. Belang emas di tubuhnya berkilau tertimpa sinar bulan. Dalam hitungan
seper sekian detik, keduanya bertarung. Suara bak-buk, saling menghantam, dan lolongan
atau auman marah mengiringi detak jantungku yang berdetak cepat bagai derap kaki kuda pacu.
Makhluk berbentuk harimau itu berhasil menggoreskan cakar ke
tubuh lawannya. Lolongan lawan terdengar
marah. Harimau tak membiarkan lama, kembali menyerang, gerakan harimau
lebih penuh perhitungan, lompatan memutar kerap membingungkan lawan. Dan
berkali-kali cakar harimau meninggalkan jejak di tubuh lawannya. Cipratan cairan
hitam yang kuyakini darah, terkibas bagai cat pelukis. Suara krak krek bagai
kayu bakar patah terdengar saat keduanya saling memiting, menjepit, mencakar, dan
menggigit. Aku takut, badanku bergemetar hebat, tapi mataku tak mampu beralih.
Dasar binatang! Keduanya terus berusaha mengoyak lawan
tanpa rasa kasihan, makhluk berbentuk serigala
itu terlihat kelelahan. Kini keduanya memposisikan berhadapan, kembali menyerang.
Satu sabetan cakar serigala menggores sisi kanan kaki depan harimau.
Goresan membuat harimau kian ganas. Harimau mengaum, terdengar garang dan kali ini harimau menerjang. Gigitan pada leher samping dengan cengkeraman
dua cakar pada kepala, membuat lawannya tak bergerak. Harimau menggerak-gerakkan
kepala, berusaha menggigit, memutuskan kepala lawan dan kudengar suara krek seiring
kepala lawan yang terkulai. Harimau melepaskan diri , menjauh dari tubuh lawan
yang langsung jatuh. Berdiri dengan dua
kaki, mata nyalang, lalu mengaum keras. Sisa-sia darah masih menetes
dari gigi geliginya. Makhluk berbentuk harimau itu diam seperti menunggu.
Berdiri menatap bulan. Saat bulan tertutup awan, matanya meredup, menjatuhkan kedua kaki depan,
ia kembali layaknya binatang berkaki empat.
*****
Aku terbangun, saat hidungku mencium aroma daging panggang.
Perlahan kubuka kedua mata, kulihat Ayah tengah memanggang ayam, cipratan darah
memenuhi tubuh Ayah yang tak berbaju.
Ada goresan panjang di lengan kanannya, tapi luka lama. Hmm..., aku pasti
bermimpi. Elisa Koraag, terinspirasi tema Beranda FF Grup Pedas, 24 April 2013.
0 komentar:
Posting Komentar